“Aku memang bukan orang yang romantis,” kata suami saya hampir dua belas tahun lalu. Dan kata-kata itulah yang setiap tahun paling tidak ia ulangi lagi pada saya. Maklum, saya ini “si romantis berat”. Buat saya tak harus menunggu hari tertentu, ulang tahunnya atau milad pernikahan kami untuk membuatkannya puisi cinta, memberi hadiah seru atau kejutan istimewa. Buat saya, setiap saat adalah momen untuk memenangkan cintanya dengan gaya yang kalau bisa paling romantis. Karena itu si romantis ini sempat terkejut saat tak ada bulan madu usai pernikahan, saat tak ada setangkai bunga pun yang pernah ia bawakan untuk saya. Puisi cinta sebaris dua baris? Meski punya kemampuan bahasa yang luar biasa, ia tak akrab dengan puisi, apalagi menuliskannya untuk saya!
Meski demikian, Mas Tomi, suami terkasih saya itu, bukan anti romantisme. Sebenarnya paling tidak setahun sekali itu pula, ia pernah mencoba untuk memperlakukan saya secara lebih romantis dengan caranya sendiri. Kadang lewat kartu ulang tahun atau pernikahan, mengajak bertemu berdua entah di mana (ini hal paling jarang karena Faiz selalu mengintai!), dan dari cara ia berbicara dan menyentuh saya. Kebiasaannya membukakan semua pintu yang akan saya lewati, mulai dari pintu mobil, pintu rumah dan berbagai pintu yang pernah kami jumpai, sangat saya nikmati. Meski istrinya cenderung gemuk setelah menikah, ia tak lupa membawakan coklat sepulang dari luar kota atau luar negeri. Paling tidak kata: miss u, kiss u, honey, say, your guardian angel is coming, dan semacamnya, kerap ada pada setiap isi sms-nya.
“Tidak pernah bulan madu?” Tanya seorang teman.
Saya menggeleng.
“Dibuatkan sebait saja puisi?”
“Pernah, tetapi oleh lelaki lain,” saya cengengesan mengingat seorang pria kecil berusia 8 tahun yang mendedikasikan buku puisi pertamanya untuk saya..
“Dibawakan bunga?”
“Pernah oleh lelaki lain juga,” kata saya tertawa. Maksudnya Faiz.
“Kalau romantic dinner?”
Saya masih menggeleng. “Romantic dinner itu yang seperti apa?” saya balik bertanya, membuat teman saya geregetan.
Ahad, 5 November sepulang dari rapat mendadak bersama beberapa temannya, Mas Tom mengajak saya pergi makan malam. Kali ini berdua saja, karena Faiz punya acara lain bersama para sepupunya dan tumben tak mau diganggu. Saya menanggapi ajakan mas seperti biasa. Hmm mungkin ia akan mengajak saya ke beberapa tempat yang memang lumayan sering kami kunjungi di awal bulan.
Tapi rupanya kali ini saya salah. Tiba-tiba ia menelpon sebuah tempat dan melakukan pemesanan. Di ujung pembicaraan, ia berkata pada suara di seberang telpon, “ Berdua saja, Mbak. Ya, romantic dinner bersama istri….”
O…o…saya terdiam. Akhirnya! Ke mana ia akan membawa saya? Saya sangat ingin tahu, tapi mas tenang-tenang saja.
Malam itu suami saya membawa saya ke sebuah tempat di tengah kota, tepatnya di lantai 35, di mana kami leluasa memandang Jakarta yang bermandi lampu warna-warni, dari balik jendela yang temaram. “Dalam satu jam 45 menit, kita akan memutari Jakarta ,” katanya sambil tersenyum penuh arti.
Malam itu menjadi salah satu malam terindah buat saya. Kami makan bersama sambil berbicang banyak hal tentang kami, tentang Faiz dan calon adiknya, dan lain-lain. Mas sesekali memotret wajah saya yang sumringah, dalam keremangan.
Lebih dari dua jam kami berada di restoran yang terus berputar perlahan, diiringi suasana yang sangat sahdu, ditemani dua cahaya lilin. Ah, setelah hampir 12 tahun menikah, akhirnya saya tahu ini yang namanya romantic dinner! Tapi kalau pun saya tak tahu dan tak pernah merasakannya, apakah itu akan menjadi kekurangan dalam pernikahan kami? Saya tersenyum sendiri. Saya tahu pasti jawabannya: tentu saja tidak, bukan?
Ketika selesai, saya terhenyak membaca jumlah yang harus mas bayar untuk makan malam romantis lebih dari dua jam itu. Mas tersenyum, “Nggak apa, sekali-sekali, sayang….”
“Tepatnya 12 tahun sekali!” canda saya. “Kalau jadi 6 tahun sekali, atau setahun sekali masih tak apa, Mas. Yang penting jangan sering-sering…nanti kita bisa kena kangker alias kantong kering!” (Dan dalam keadaan kondisi Indonesia kayak gini? Nggak tega lah ya….)
Malam itu bulan bulat menguning. Warnanya tak sepucat biasa. Mobil kami meluncur membelah kota . Sebentar lagi tengah malam. Salah satu pria paling romantis yang dilahirkan di negeri ini harus segera kami jemput: Faiz!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar